TRADISI PESANTREN "GHASAB"


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Kebiasaan meramapas milik orang lain merupakan suatu kebiasaan yang sudah merajalela. Ghosob sudah tidak asing lagi bagi santri santri terutama yang ada di pesantren salaf, hal ini tidak lainemenuhi untuk memenuhi kebutuhan dengan jalan pintas. Namun secara tidak sadar kta telah melakukan kedzoliman terhadap orang lain. Kegiatan plagiasi sepertihalnya merupakan kegiatan menggosob juga. 
Pelaku ghosob bervariasi, dari anak anak orang dewasa, bahkan santri pun bias menggosob. Para pelaku itu berdalil dengan aneka ragam alasan mulai dari terpepet, sudah mengetahui bahwa maghsub sudah ridho. Apapun alasannya ghosob kalau dilihat dari kemanusiaan, kurang beretika. Santri santri biasanya melakukan ghosob karena sudah tau ilmunya.
B.     Rumusan masalah
1.        Apa yang dimaksud Ghosob?
2.        Apa dasar-dasar pengambilan hukum Ghosob?
3.        Apa hukuman bagi pelaku Ghosob?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ghosob
Ghasabsecaraetimologiadalahmengambilsesuatusecaradzalimdanpaksaan.Secaraterminologighasabadalahmenguasaihak orang lainsecarapaaksadenganjalantidakbenar.[1]
Ghosob adalah perilaku meminjam harta orang lain tanpa seizin pemiliknya lalu mengembalikan lagi ketempat semula. Dalam roghib wattarhib disebutkan bahwa ghosob adalah menguasai harta orang lain dengan jalan aniaya, yaitu jalan yang tidak diridloi oleh agama.[2]Ghosob adalah penyakit yang sangat buruk penyakit yang membudaya dan akhirnya dianggap menjadi hal yang biasa dan lumrah ( Fawaid ).
Sulitnya menghindari Ghasab dalam kehidupan sehari-hari kita,karena terkadang tanpa kita sengaja kita melakukan perbuatan Ghasab itu sendiri. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari sebagai Santri yang tinggal di Asrama suatu Pondok pesantren Ghasab sudah menjadi realita. Pertama, hidup dalam “satu atap” membuat perbuatan gasab hampir sulit dihindari. Kedua, gasab hampir menjadi hal yang wajar (naudzubillah).
Sebuah pertanyaan besar, mengapa perilaku ghosob dapat tumbuh dan berkembang  di sekitar kita. Perilaku menyimpang itu tak ayal juga merasuki nadi kehidupan di pesantren-pesantren bukan persoalan tempat di mana perilaku ghosob menjelma. Perilaku ghosob dan yang lainya yang berbau negatif akan mengarahkan kita kepada nafsu ammarah yakni nafsu kedurjanaan, yang lebih banyak mengarahkan kepada pembuatan dan pengkaburan hati nurani. [3] Ghosob adalah sebuah sikap yang menyimpang dari seseorang dari norma-norma agama, karena bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif, atau ragu.[4]Seharusnya yang berperan penting memberantas ghosob bagi para santri atau murid adalah seorang ustadz atau guru, budi pekerti guru maha penting dalam pendidikan watak murid. Guru harus jadi suri teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Diantara tujuan pendidikan adalah membentuk akhlak yang baik pada anak dan ini hanya mungkin jika guru berakhlak baik pula.[5]Namun sungguh ironis, bagaimana bisa perilaku menyimpang dapat subur di lingkungan yang justru melarangnya?
Alasan yang paling logis adalah santri kurang mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Tetapi ini bukan persoalan human error dan relativitas individu belaka. Ada konstruksi sosial yang tanpa disadari terbentuk dari proses sosial santri. Salah satu yang turut membentuknya adalah nilai khas yang berkembang di pesantren, yakni nilai kekeluargaan (kindship). Nilai kekeluargaan santri dilatari oleh interaksi intensif antar santri yang kemudian melahirkan pola hubungan yang guyub (gemeinschaft). Rasa guyub tersebut terbentuk atas dasar ikatan darah, tempat tinggal dan jiwa pikiran. Proses sosial santri di pesantren diwarnai kebersamaan bukan hanya karena satu naungan atap, melainkan ikatan jiwa-pikiran santri turut mempererat jalinan paguyuban tersebut. Setiap hari santri beraktivitas, bercengkerama dan melewati waktu dalam kebersamaan. Interaksi di antara santri mengalir mesra, merajut jalinan emosi, empati, rasa saling memiliki dan sepenanggungan. Apapun dilalui bersama dalam satu naungan pondok pesantren.
Ketika sebuah interaksi mencapai klimaks intensif, timbul rasa saling memiliki bahkan altruistik, yakni mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan sendiri. Kita lihat, kebersamaan santri dalam mengakses suatu tempat atau barang, hal itu didasari oleh impuls social-genetics yang mengakar dalam keintiman hubungan. Sehingga timbul nilai yang lebih intim, yaitu punyaku juga punyamu, punyamu ya punyaku. Apapun yang dimiliki santri, santri lainnya dapat menggunakan asalkan tidak dimiliki secara mutlak. Kebersamaan dalam kepemilikan bukan “kesalahan” dari yang ikut merasa memiliki. Rasa permisif yang ditonjolkan pemilik barang meyakinkan santri lainnya bahwa memang diperbolehkan untuk menggunakannya. Ketika hal itu terbiasa, maka izin memakai barang tak lagi diperhitungkan karena pemakluman dan pembolehan pribadi yang apriori.
Nilai-nilai positif di atas tidak distigmakan menjadi problematika, permasalahannya terletak pada refleksi santri menanggapi ikatan-ikatan tadi. Para santri cenderung memanfaatkan dan menyalahgunakan (abusement) hubungan emosional yang intim. Proses abusing tadi terjadi dalam bawah sadar santri. Artinya, bukan kehendak pikiran mereka. Mereka lepas kontrol atas tindakannya sehingga kesadaran dalam bertindak tidak lagi terkendali. Faktornya adalah rasa saling memiliki sudah mengakar dalam bawah sadar mereka. Setelah berulang-berulang terjadi, maka menjadi kebiasaan yang melembaga. Gejala itu lantas melahirkan semacam sanksi sosial dari santri lain tatkala keluar dari arus. Sanksi sosial tersebut biasanya berupa sindiran, gojlokan, hinaan bahkan cenderung pada hal fisik seperti pencurian barang dan penganiayaan. Pengucilan juga bisa terjadi, keleluasaan berinteraksi pun tertutup. Inilah yang menjadi phobia santri sehingga mereka lebih konformis terhadap nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah interaksi santri.[6]
Ghosob merupakan suatu tindakan di mana seseorang memakai barang seseorang tanpa izin. Namun tidak untuk diambil ataupun dimiliki. Sehingga ghosob merupakan tindakan yang hampir sama dengan mencuri. Namun kalau mengghosob barang, barang tersebut akan dikembalikan. Sedangkan hampir sama karena ghosob dan mencuri sama-sama mengambil barang orang tanpa seizin dari yang punya.[7]
Menurut Tahrir Al-Wasilah Merampas (gashab) yaitu perbuatan seseorang menguasai milik atau hak orang lain dengan cara yang tidak benar dan zalim.
Merampas termasuk sebagai dosa besar, dan perampas akan mendapatkan azab yang pedih di Hari Kiamat nanti.
Macam-macam Merampas
1.        Merampas barang milik:
a.         Barang milik pribadi seperti; mengambil pena dan buku orang lain, atau memecahkan kaca rumah orang lain;
b.         Barang milik umum seperti; mengambil barang-barang sekolah, memecahkan lampu jalan, tidak mengeluarkan khumus,atau tidak mengeluarkan zakat.
2.        Merampas hak guna:
a.         Hak guna pribadi seperti; menduduki bangku duduk orang lain di kelas, atau sholat di tempat yang sudah dipilih oleh orang lain di masjid;
b.         Hak guna umum seperti; mencegah orang lain dari menggunakan masjid, atau jembatan, atau jalan, atau mencegah orang lain dari melintasinya.
    Akibat dari perbedaan definisi ini akan terlihat pada tiga hal :
1.      Jenis benda (bergerak dan tidak bergerak)
a.         Imam Hanafi dan Abu Yusuf: ghasab terjadi hanya pada benda-benda yang bergerak, sedangkan benda yang tidak bergerak tidak mungkin terjadi ghasab. Seperti rumah dan tanah
b.         Jumhur Ulama: ghasab bisa terjadi pada benda bergerak dan tidak bergerak. Karena yang penting adalah sifat penguasaan terhadap harta tersebut secara sewenang-wenang dan secara paksa. Melalui penguasaan ini berarti orang yang menggasab tersebut telah menjadikan harta itu sebagai miliknya baik secara material maupun secara manfaat.
2.      Hasil dari benda yang diambil tanpa ijin.
a.         Imam Hanafi dan Abu Yusuf : hasil dari benda yang diambil merupakan amanah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Akan tetapi jika hasil dari benda itu dibinasakan (melakukan kesewenangan terhadap hasil dari benda yang digasab) maka ia dikenakan denda. Seperti : buah dari pohon yang dighasab.
b.         Jumhur Ulama: Jika pengghasab menghabiskan atau mengurangi hasil barang yang dighasabnya maka ia dikenakan denda
3.      Manfaat dari benda yang dighasab.
a.       Mazhab Hanafi: manfaat barang yang dighasab tidak termasuk sesuatu yang digasab. Karena manfaat tidak termasuk dalam definisi harta bagi mereka. Seperti : menggasab sandal kemudian dikembalikan lagi
b.      Jumhur Ulama: Manfaat itu termasuk dalam definisi harta. Oleh sebab itu dikenakan denda jika barang yang digasab tersebut dimanfaatkan orang yang menggasabnya. ( Riky Andriyanto )
Ketika kita kehilangan sandal dan memakai sandal orang lain sebenarnya adalah perbuatan mencuri dan bukan menggosob karena sangat kecil kemungkinanya untuk mengembalikanya. Padahal kita semua tahu bahwa hukum dari mencuri adalah dipotong salah satu tangannya. Berawal dari permasalahan sandal saja bisa melanggar hukum syariah bahkan sang pelaku akan diganjar hukuman yang sangat keras baik dunia maupun akhirat. Apalagi dalam memberikan hukum terhadap suatu permasalahan kita harus senantiasa kembali kepada Al-Qur’an serta sunnah Nabi agar kita terhindar dari Taqlidul A’ma yang akan membawa kita pada kesesatan Kalaupun akhirnya mengembalikanya sebenarnya ia telah menggosob dan telah menanam benih dosa karena orang yang kehilangan sandalnya akan mengambil milik orang lain dan begitupun seterusnya hingga berapa banyak sandal yang tercuri gara - gara satu orang kehilangan sandal dan mengambil sandal orang lain, sebanyak itu pula dosa yang harus ditanggung. Hukuman Ghosob yang bukan main beratnya yakni kelak di Akhirat ia akan ditindih oleh tujuh bumi dari setiap barang yang di gosobnya, maka sebaiknya jangan mencoba menjerumuskan diri kedalam dua hal tersebut apalagi menganggapnya sebagai hal yang remeh.

B.  Dasar Hukum Ghosob
Surat An Nisa ayat 29

$ygƒr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãYtB#uäŸw(#þqè=à2ù's?Nä3s9ºuqøBr&Mà6oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/HwÎ)br&šcqä3s?¸ot»pgÏB`tã<Ú#ts?öNä3ZÏiB4Ÿwur(#þqè=çFø)s?öNä3|¡àÿRr&4¨bÎ)©!$#tb%x.öNä3Î/$VJŠÏmuÇËÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janglah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu, Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
 Surat Al Baqarah 188
Ÿwur(#þqè=ä.ù's?Nä3s9ºuqøBr&Nä3oY÷t/È@ÏÜ»t6ø9$$Î/(#qä9ôè?ur!$ygÎ/n<Î)ÏQ$¤6çtø:$#(#qè=à2ù'tGÏ9$Z)ƒÌsùô`ÏiBÉAºuqøBr&Ĩ$¨Y9$#ÉOøOM}$$Î/óOçFRr&urtbqßJn=÷ès?ÇÊÑÑÈ
Artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

 Sabda Rasulullah

عَنْ سَعِيْدِ بْنُ زَيْدٍ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص قَالَ (مَنِ اقْتَطَعَ شِيْرًا مِنَ اْلاَرْضِ ظُلْمًا طَوَّقُهُ اللهُ اِيَّاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ اَرَضِيْنَ). منتفق عليه.

Artinya   :  Dari Sa’id bin Zaid, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabada “Barangsiapa ambil sejengkal dari bumi dengan kezhaliman, niscaya Allah kalungkan dia dengannya pada hari Qiyamat dari tujuh bumi” ( mutafaqunalaih )

Darah dan harta seseorang haram bagi orang lain (HR Bukhari dan Muslim dari Abi Bakrah)

Harta seorang muslim haram dipergunakan oleh muslim lainnya, tanpa kerelaan hati pemiliknya (HR.Daruquthni dari Anas bin Malik.
          Para ‘Ulama’ sepakat bahwa aslul hukmi dari ghasab adalah haram hukumnya jika memang prakteknya mengambil barang milik orang lain dengan bathil, tanpa izinnya. Di samping itu pula ada kewajiban untuk mengembalikan barang tersebut jika memang barang yang dighasab masih ada dan berubah sedikitpun di dalam tanggungan ghasab. Biasanya ada suatu ketika jika kita ghosob tapi malu mau mengembalikan barang yang di ghosob, sehingga jika mutlak tidak di kembalikan, maka hukumnya bisa dikatakan mencuri. Di kitab terjemahan Matan Taqrib disebutkan bahwa hukum mencuri pertama kali, maka tangan kanan di potong, jika mencuri lagi maka kaki kiri, jika mencuri lagi maka tangan kiri, jika mencuri lagi maka kaki kanan, dan jika mencuri lagi maka bisa di bunuh.[8] Dan barang yang dicuri harus ada satu nisob atau seperempat dinar dari emas murni.[9] Ketika barang tersebut sudah tidak berwujud karena rusak atau lainnya, maka ghasib harus mengganti barang tersebut jika memang bisa dicarikan gantinya. Dan jika tidak, maka ghasib harus mengganti dzat barang tersebut dengan harga yang senilai.
          Kemudian ada beberapa permasalahan dalam ghasab ketika dikaitkan dengan merampok, mencuri, mencopet, dan sebagainya. Apakah ghasab itu sama dengan hal tersebut atau tidak.  Dalam Hasyiah Qalyubi, menyatakan bahwa ghasab, sariqah, ikhtilas, dan sebagainya adalah sama. Dikarenakan karena kesemuanya itu berdasar illat yang sama , yakni adanya kedhaliman dan penganiayaan untuk mendapatkan hak orang lain . Jadi persamaan tersebut ditinjau dari aspek esensinya walaupun bentuk kesemuanya berbeda dari segi definitifnya. Akan tetapi, dalam Mathali’ Uli an-Nuha disebutkan bahwa sariqah dan ikhtilas tidak sama dengan ghasab sebab di dalam ghasab ada sebuah bentuk pemaksaan dalam mengambil hak orang lain (merampas), sedangkan dalam lkhtilas dan sariqah tidak ada pemaksaan sebab jika ditinjau kembali, ikhtilas dan sariqah adalah mengambil barang milik orang lain secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemaksaan.
          Namun, ketika dikaitkan dengan kehidupan di lingkungan pondok pesantren di mana perilaku pinjam meminjam tanpa izin telah terbiasa apakah memang masuk dalam perilaku ghasab atau tidak. Hal ini dapat dijawab dalam al-Taj wa al-Iklil bahwa setiap pengambilan manfaat dari suatu barang yang notabene milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai ghasab dikarenakan tidak ada unsur isti’la’ (menguasai) di dalamnya dan masuk ke dalam katagori ta’addi (pelampauan batas). Dan jinayah antara ghasab dan ta’addi berbeda.
          Hal ini berbeda dengan mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa hal tersebut sama hal dengan ghasab. Tidak ada istilah ta’addi dalam mazhab Syafi’i karena istilah ta’addi tersebut sudah masuk dalam hakekat ghasab sekalipun pinjam meminjam tanpa izin itu sudah menjadi ghalib (kebiasaan / tradisi) dan walaupun hanya dalam bentuk menaiki tunggangan orang lain ataupun duduk di atas bantal orang lain.[10]


                           
C.    Hukuman Orang yang Ghasab
1.        Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.
2.        Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya.
3.        Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda. ( Jawir Julfikar )




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpuan
Ghosob adalah perilaku meminjam harta orang lain tanpa seizin pemiliknya lalu mengembalikan lagi ketempat semula. Ghosob adalah penyakit yang sangat buruk penyakit yang membudaya dan akhirnya dianggap menjadi hal yang biasa dan lumrah
Hukuman orang yang Ghasab, Ia berdosa jika ia mengetahui bahwa barang yang diambilnya tersebut milik orang lain.. Jika barang tersebut masih utuh wajib dikembalikannya. Apabila barang tersebut hilang/rusak karena dimanfaatkan maka ia dikenakan denda.

B.     Saran
Untuk menghindari sikap tidak terpuji, hendaklah kita menuntut ilmu agama, belajar dan terus belajar

















DAFTAR PUSTAKA

Al Bassam, Abdullah Bin Abdurrahman. 2011. SyarahBulghulMaram. Jakarta: PustakaAzzam.
Al-Mundziri, Hafidz. 1995. Terjemah at-Targhib wat-Tarhib. Jakarta: PT. Pustaka Amani
Rahmatullah, Azam Syukur. 2010.  Psikologi Kemalasan. Kebumen: Azkiya Media
Jalaluddin. 2012. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Daradjat, Zakiah. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
 http://helmie29.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none
Abu Suja’, Terjemah Matan Taqrib.
Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in.
http://www.islamshout.blogspot.co.id





[1]Abdullah Bin Abdurrahman Al Bassam, SyarahBulghulMaram, cet. 3, (Jakarta: PustakaAzzam, 2011), hal 620

[2]Hafidz Al-Mundziri, Terjemah at-Targhib wat-Tarhib, cet. 1, (Jakarta: PT. Pustaka Amani, 1995), hal134
[3] Azam Syukur Rahmatullah, Psikologi Kemalasan, cet. 2,(Kebumen: Azkiya Media, 2010), hal 82

[4]Jalaluddin, Psikologi Agama, cet. 16, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal 259

[5]Zakiah Daradjat,dkk, Ilmu Pendidikan Islam, cet. 7, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), hal42
[7] http://helmie29.blogspot.com/2012/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none

[8] Abu Suja’, Terjemah Matan Taqrib, Hal. 73

[9]Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, Hal. 130
[10]  http://www.islamshout.blogspot.co.id

One Response so far.

  1. tulisan yang bagus. mengingatkan waktu mondok dulu

Leave a Reply